IMON
Karya : Budianto
Alam menjadi teman sejati. Mimpinya tak seorangpun yang tahu apakah dia menikmati kehidupan dengan kesenangan atau dengan penderitaan batin yang menyayat pada kemenangan. Rerintik hujan telah mengguyur sejak dua hari yang lalu, membuat kesunyian yang amat dalam pada kehidupan bang imon. Sesungguhnya penghujatan yang mulia telah di berikan pada kehidupan sekeliling, saban hari hanya menjadi bahan ejekan warga kalau melintas di tengah-tengah keramaian kampong. Menggerutu sambil berlalu seakan tak menganggap ada kejadian walau orang menceritainya dan menganggapnya orang gila. Hanya alamlah teman yang setia membingkaikan kebahagiaan dalam hatinya. Seperti pohon yang kehilangan daunya, tak menyisakan tunas-tunas penyangga yang bisa di jadikan sanggahan. Dia juga tak pernah memikirkan kesalahan, karna baginya ini sudah aturan yang harus dijalankan.
Matahari tampaknya cerah siang ini, segera mungkin bang imon menuju kandang sapi, milik saudaranya. Walau hidup sudah termakan usia, tapi dia tak tega kalau harus melihat ternak yang menjerit-jerit karna kelaparan, dia bisa membayangkan bagaimana rasanya kalau dua hari tidak makan. Ternak-ternak tersebut ia giring ketempat biasa, daerah persawahan yang banyak rumput kolomento dan paitan. Sambil menunggu sampai sore biasanya waktu dia habiskan bercengkrama dengan alam dan isinya. Sesekali menyanyi sambil memainkan kayu kecil sebagai alat penggusah ternak. Dibawah pohon kelapa sawit, menikmati gemericik air parit yang berirama. Kadang dia tak betah, karna serangan nyamuk-nyamuk yang berupacara di sekeliling badannya.
Aku nyaris tak bisa membayangkan bagimana kesedihan yang dia alami, kedua orang tuanya telah tiada, dia juga tak pernah mengenal cinta terlebih-lebih cinta sama seorang isteri dan anak. Dia tak pernah menikah atau berpacaran. Hampir empat puluh satu tahun dia hidup seperti ini. Hanya begitu, bersahabat dengan alam saja baginya sudah cukup.
Rumahnya yang reot menjadi singgahsana dalam peristirahatanya. Semua dilakukannya dengan sendiri. Apakah dia tidak takut dengan kegelapan, apakah dia tidak takut dengan makhluk ghaib, apakah dia tidak takut dengan yang namanya kematian, hanya dia dan Tuhanlah yang tahu.
Dia harus berbelanja makanan seminggu sekali di sebuah kedai yang terletak cukup jauh dari rumahnya. Biasanya kalau belanja pas malam senin, habis sholat isya dia baru menukarkan uangnya dengan sembako secukupnya. Di bawanya pulang kerumah. Kegelapan tak menjadi penghalang, karna dia nampaknya telah hafal dengan jalan yang selalu di lintasinya kalau pergi ke masjid. Dari rumahku saja berjarak sekitar dua puluh meter kegelapan benar-benar menimbulkan kuduk merinding. Dia harus menempuhnya sepuluh kali lipat lagi dengan berjalan kaki agar sampai di rumahnya, mending kalau di rumahnya ada kawannya atau ada rumah-rumah warga di sekitar, sepertinya tidak, karna rumahku termasuk ujung setelah ada dua rumah yang berjarak tak terlalu jauh.
Kegelisahan sepi melanda diri bang imon, baginya malam adalah sesuatu yang tak bisa dia elakkan untuk merenungkan kenyataan, dengan hanya ditemani cahaya lilin yang dia lindungi dengan kedua telapak tangannya agar tak lelap ditiup angin atau tetesan air hujan. Suara jangkrik turut menyumbangkan nyanyian dalam kesendiriannya. Biasanya kalau lilin-lilin itu sudah mati, barulah bang imon merebahkan diri di atas papan yang berkaki dan menempel di dinding yang sudah keropos dimakan rayap. Walau begitu bang imon tak pernah melewatkan shalat shubuh di masjid. Suara azan yang syahdu, membuatnya tidak pernah manja pada tidurnya. Langsung bergegas menuju masjid, walau disana tak banyak orang yang menunaikan kewajiban, paling hanya bilal yang merangkap imam dan dia makmum satu-satunya. Kasihan sangat kalau melihat bang imon melewati rintangan hidup seperti ini. Tapi tak juga bisa mencari siapa yang bersalah, paling kalau kita yang harus pedulikan kenapa kita tidak pernah memperdulikan orang-orang yang tidak di pedulikan seperti bang imon.
Embun menawarkan curhatan pada bang imon, yang sedang lihai menikmati udara pagi saat pulang dari masjid. Badannya menggigil kedinginan, udara pagi nampaknya hampir tak mampu ia taklukan, maklum saja dia hanya memakai sarung dan baju kaos, itupun kaos partai yang dia dapatkan dari tim sukses pasangan calon presiden satu tahun yang lalu. Sampai dirumah bang imon harus mengganti kostum. Celana pendek dan baju yang sudah compang-camping dia kenakan, dia harus mengasah parang bengkoknya terlebih dahulu sebelum mengarit rumput untuk makanan sapi yang baru beranak. Sambil berangkat dia melintasi kandang sapi. Dilihatnya ternak-ternak masih tertidur pulas, dia memperbaiki diang (api penghangat sapi) yang ditumpuki kayu-kayu dan serabut kelapa. Setelah beres barulah dia mencari tempat di persawahan yang banyak rumput kolomento dan paitan. Apakah dia tidak takut dengan gigitan pacat/lintah, apakah dia tidak takut dengan gigitan ular, apakah dia tidak takut dengan yang namanya kematian, hanya dia dan Tuhanlah yang tahu.
Dipinggiran sungai dia membabat rumput-rumput sedikit demi sediki, dimasukan kedalam goni. Kalau sudah dirasanya cukup barulah dia pulang dengan membawa rumput aritannya. Sapi-sapinya nampaknya tidak mengenal yang namanya nanti-nanti dulu, karna ketika melihat bang imon menyunggi (menggotong di atas kepala) rumput yang di babatnya, sapi-sapi itu langsung bangkit dari tidurnya. Dia harus membagi rumput itu kepada enam sapinya, tapi yang paling di utamakannya adalah sapi yang baru beranak, karna sapi tersebut belum bisa dilepas siang nanti, seminggu sampai dua minggu baru bisa di lepas bersama sapi yang lain.
Orang biasanya memanggil bang imon dengan sebutan bang toyib, entah kenapa nama itu ditunjukan kepadanya, atau karena dia hobi joget ketika ada hiburan keyboard kalau ada warga yang pesta di kampong itu, biasanya memang bang imon tidak pernah absen, bahkan datang duluan di pentas, berdiri menunggu biduanya nyanyi, semua lagu masuk sama dia, walaupun goyangannya hanya menggeal-geolkan pinggang dan sesekali menaikan tangannya ke atas. Dia menikmati aksi panggungnya sendiri tanpa memperdulikan orang lain, paling kalau sudah larut malam baru dia turun dari pentas dan pulang kerumahnya. Lagi-lagi kegelisahan sepi melanda diri bang imon, baginya malam adalah sesuatu yang tak bisa dia elakkan untuk merenungkan kenyataan, dengan hanya ditemani cahaya lilin yang dia lindungi dengan kedua telapak tangannya agar tak lelap ditiup angin atau tetesan air hujan. Suara jangkrik turut menyumbangkan nyanyian dalam kesendiriannya. Biasanya kalau lilin-lilin itu sudah mati, barulah bang imon merebahkan diri di atas papan yang berkaki dan menempel di dinding yang sudah keropos dimakan rayap.
Alam mengajarinya kehidupan, alam juga yang membuatnya selalu bersyukur dengan kenyataan. Baginya tidak ada orang yang lebih mulia di dunia ini kecuali orang-orang selalu mensyukuri karunia Tuhan. Dari segi keadaan dan sifat memang bang imon tergolong orang yang sedikit kekurangan, tapi dibalik semua itu ada karunia Tuhan yang diberikan pada dirinya. Bersyukur, taat beribadah, dan tidak pernah menyakiti hati orang lain. Hal seperti ini sering sekali terlupakan sama orang-orang. Tapi inilah kehidupan, yang semuanya berhak memilih jalannya masing-masing, munkin hanya waktu yang mampu meberikan jawaban atas tingkah laku masing-masing. Hidupnya semakin merenta, kini bang imon nampaknya sudah tidak kuat kalau harus memaksakan tenaga, waktunya kini dia gunakan hanya untuk mendekatkan diri sama sang Pencipta, di rumahnya yang reot dia memanjatkan doa yang paling mulia. Semoga kelak jika dia meninggal ada warga yang meperdulikannya, dan keinginannya yang paling dia nantikan ialah Tuhan bisa menjumpakan dia dengan kedua orang tuannya yang sama sekali tidak pernah dia ketahui selama hidupnya, karna ayahnya yang meninggal saat ia masih dalam kandungan dan ibunya juga meninggal sesaat setelah melahirkannya.
Ranah Kompak, Aceh Singkil 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar