JEJAK TERAKHIR
Karya
Budianto
Semua tahu panggilan apa yang tepat untuk memanggil lelaki yang duduk mendepis di balik tumpukan sampah itu. Lelaki kumal, bermuka kusut, sekusut ilalang kering dengan baju compang camping, serta dengan aroma tubuh yang menyengat hidung. Ya, aroma tubuh lelaki itu benar-benar seperti aroma sampah yang telah membusuk. Tubuhnya banyak dikerubungi lalat, sebab terdapat beberapa luka yang telah menganga, serupa kawah. Ah, aku sesungguhnya nyaris tak sanggup menatapnya, jika saja tubuh renta itu tidak terhidang tepat di kelopak mataku.
Entahlah, sembari terus kuayunkan langkah, tak henti-hentinya pandanganku terjurus kepadanya. Miris, kutatap dia dengan lahap memakan sisa-sisa makanan basi dari rumah makan sekitar area itu. Terpikirku apakah masih sanggup kita katakan kalau negeri ini adalah negeri yang sejahtera? Jika wujud-wujud seperti ini masih banyak menghiasi sudut-sudut kota? Sejujurnya aku ingin merutuki penguasa yang tidak memahami arti menghidupi rakyat, aku ingin menghujat pejabat yang hanya mampu membagi-bagi kemiskinan, atau bahkan menabur kelaparan. Tetapi, aku hanyalah orang kecil. Aku bahkan tak sanggup menghidupi diri sendiri. Tapi, aku punya cita-cita untuk bisa menjadi orang besar yang bisa membantu mengangkat derajat orang-orang yang tersentuh oleh pandanganku tadi. Sembari melangkah kuberkhayal akan hal itu.
Kulihat jam di tanganku. Sudah menunjukan pukul 10.00 WIB, penanda aku harus segera mengantarkan kiriman orang tuaku ke panti asuhan yang telah diamanahkan kepadaku.Walaupun aku masih buta dengan kota ini, namun setidaknya aku akan berusaha untuk mencari alamat ini sampai kutemukan. Aku harus bertemu Pak Mario, pimpinan sekaligus pendiri panti asuhan itu sedari dua puluh tahun lalu.
* * *
”Di sana akan kau temukan, orang-orang yang kurang beruntung, mungkin bertakdir sebagai gembel, yatim piatu, atau bahkan anak-anak jalanan yang masa lalunya terpaksa melacurkan diri demi sesuap nasi.”
Terngiang kembali perkataan ayahku sebelum kujejakkan langkah demi amanah yang saat ini menghimpit di pundakku. Tiba-tiba saja, terlintas di pikiranku bahwa orang yang kulihat di samping tumpukan-tumpukan sampah tadi pasti banyak di sana. Di panti asuhan yang akan ku cari.
Teriknya matahari terasa menyengat sekujur tubuhku. Membuat keringat melumer ditubuhku. Sesekali kusapu keringat dari wajahku. Kurasakan dahaga yang maha dahsyat mencekik kerongkonganku. Terlihat kios kecil di seberang jalan, yang menyediakan minuman-minuman kecil, serta makanan-makanan ringan. Segera kuhampiri kios itu, kubeli sebotol air mineral untuk melepas dahagaku.
Setelah melepas dahaga yang mencekikku kulanjutkan perjalanan, di perempatan jalan, aku melihat kendaraan yang antri secara teratur. Menunggu rambu-rambu lampu lalu lintas berubah warna. Aku tersenyum, entah mengapa terlintas dalam benakku, bahwa hidup juga serupa rambu-rambu, kadang menoktahkan hijaunya semangat, namun juga tak jarang bercengkrama dengan kuningnya kehati-hatian, dan jika kita tak menginsyafinya maka yang ada kita akan terhenti pada lorong penantian.
Kuseberangi jalan. Melintas di celah-celah mobil yang sedang antri. Berbagi jalan dengan para pengamen serta penjual rokok yang sedang menawarkan dagangannya kepada para supir angkutan kota. Aku berdiri tepat di trotoar jalan. Karena aku harus menyebrangi satu lintasan lagi.
Kupalingkan pandanganku ke sebelah kiri. Terlihat seorang pengemis tua yang sedang menjulurkan tangannya ke arah mobil sedan mewah berwarna merah. Berharap ada uluran tangan dari dalam mobil tersebut. Tetapi, apa? Jangankan mengulurkan tangan, membuka kaca jendela pun tak sudi. Kulihat di saku bajuku, ternyata masih ada sisa kembalian uang saat aku membeli minuman tadi. Sisanya masih ada tiga ribu rupiah. Tanpa berpikir panjang kuserahkan semuanya dan kuletakan dalam mangkuk kecil yang berada di depannya, betapa bahagianya hati sang pengemis itu, sambil mengambil tongkat kayunya. Dengan langkah yang tertatih-tatih ternyata dia ingin bersalaman denganku sambil mengucapkan terima kasih. Tubuhku terasa merinding, ketika lelaki yang hanya mempunyai satu buah kaki dengan satu buah tongkat sebagai pengganti kakinya yang satu lagi, merasakan sepercik kebahagiaan dari apa yang telah kuberikan.
“Mudah-mudahan yang kuasa selalu melindungimu nak.”
Kata-kata itu semakin membuat tubuhku merinding. Rasanya mau menangis. Tetapi, kusyukuri nikmat ini dengan penuh kebahagiaan dalam hati. Betapa bahagianya aku ketika bisa berbagi dengan sesama jenisku. Mungkin kebahagiaanku setara dengan kebahagiaan pengemis itu. Aku menyeberangi jalan. Pada saat aku menyeberang ternyata mobil berwarna putih dengan kencangya menyambarku.
Sssssssttt…
Suara itu yang ku dengar sambil menghantam tubuh belakangku. Sejak itu dunia terasa gelap dan aku tak sadarkan diri. Pagi hari saat kubuka mata, kulihat ruangan kecil beralaskan tanah yang hanya terbentangkan tikar kecil. Tikar itulah yang menjadi alas tidurku, kulihat kakiku terbungkus oleh sepotong kain berwana kuning yang sudah ternoda oleh bercakan-bercakan darah di kaki kananku. Kepalaku juga di ikat dengan kain yang berwarna sama dengan kain yang menggulung kakiku.
Aku mulai mencoba bangkit, dengan sekuat tenaga sambil memegang erat tiang bambu yang kulihat sebagai penyangga rumah ini. Walaupun masih kurasakan betapa sakitnya luka di kepalaku, aku berjalan dengan pelan-pelan menuju ke luar rumah, karena aku belum pernah masuk ke rumah ini sebelumnya. Di depan pintu kulihat matahari sudah menyambutku, seolah-olah dia ingin mengucapkan selamat pagi kepadaku.
“Ukhuk.. ukhuk… ukhuuuuuuk.”
Kudengar suara seseorang batuk. Ya, tak salah lagi, kudengar suara itu berasal dari samping kiri rumah ini. Niat hati ingin melihat langsung suara siapa itu. Ternyata ketika masih berjalan dua langkah, seorang lelaki tua muncul dari samping rumah.
Ketika menatap wajahnya aku merasa heran dan begitu kaget.
Wajah itu, adalah wajah yang sangat ku kenal.
”Bapak? Bapak kan....”
Aku tercekat.
”Gimana keadaanmu nak?” Lelaki itu tak menghiraukan perubahan sikapku. Ia tersenyum. Begitu tulus, dan pada senyumnya kudapati garis lengkung kedamaian yang melintang dalam hatiku secara tiba-tiba.
”Alhamdullilah pak.”
Ia kembali tersenyum. Senyum yang membuatku damai, kedamaian yang berbalut getar indah...
***
Sambil duduk di atas tumpukan karton bekas dan bersandar pada dinding yang hanya terbuat dari anyaman bambu. Kudengarkan uraian kata-kata dari lelaki tua ini. Sejujurnya, tak henti-henti berbagai pertanyaan bergumul dalam dadaku dan begitu ingin kuluncurkan untuk mencari tahu bagaimana aku sampai bisa ke rumah ini. Namun, lelaki itu seperti membaca apa yang ada dalam pikiranku, dengan sabar ia menjelaskan panjang lebar tentang keadaanku. Bahwa aku mengalami kecelakaan, dan ia menolongku. Namun yang membuat aku merasa takjub adalah ternyata firasatku benar. Lelaki ini adalah pengemis cacat yang kuberi sedekah uang tiga ribu rupiah kemarin.
Aku benar-benar terharu, aku tak menduga dari sekian banyak orang yang menyaksikanku kecelakaan, justru lelaki tua inilah yang menolongku. Lelaki yang nyaris tak mampu lagi menyangga tulang-tulangnya karena dimakan usia. Entahlah, kudapati pancaran keikhlasan di matanya, tatapannya begitu teduh, dan seketika aku menangis. Kucium tangan lelaki ini.
Selama beberapa hari, lelaki tua ini, tak membiarkanku pergi dari rumahnya. Ia merawatku dengan sabar. Namun, yang paling membuatku terharu adalah saat dia bersusah payah mencari makan untuk sejengkal perutku, karena pada saat kecelakaan dompetku raib dicuri orang yang berpura-pura menolongku. Aku terharu saat lelaki tua ini, merebus singkong yang ia beli dari hasil mengemisnya. Aku terharu saat dia berkata jangan melihat apa yang dimakan, tetapi lihat ketulusan pemberiannya. Sungguh, di sini banyak pelajaran yang kuperoleh. Karena di sini aku berguru pada kesederhanaan hidup.
***
Keadaanku telah membaik. Besok aku harus bangun pagi-pagi karena aku harus melanjutkan perjalananku untuk manjumpai bapak Mario. Tak terasa nyaris seminggu aku terbaring di gubug ini. Telah menunda perjumpaanku dengan orang sesuai yang diamanahkan ayahku. Aku masih punya tangungan untuk mengantarkan amanah yang ada dipundakku.
Pagi ini setelah menempuh perjalanan delapan jam akhirnya ku temukan alamat yang ku cari. Namun, entah mengapa bukan kedamaian yang kudapatkan ketika mendapati alamat ini. Saat pertama kali kulihat panti asuhan ini, aku merasakan dadaku bergemuruh, sangat bergemuruh. Gelombang kegelisahan bergejolak dalam lautan jiwaku. Aku tak mampu membaca firasat apakah ini. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Pak Mario, dan beliau menjelaskan isi pesan tersebut. Aku terhenyak, batinku terkoyak. Aku merasa jiwaku mati. Ragaku tinggal jasad yang layak untuk dikebumikan. Ya, aku benar-benar terpukul, sangat teramat terpukul. Aku benar-benar tak pernah menyangka bahwa berita yang disampaikan Pak Mario adalah berita kejujuran tentang masa laluku. Ya, aku baru tahu ternyata aku bukanlah anak kandung dari orangtuaku sekarang. Kesepakatan antara orangtuaku dan Pak Mario sudah sejak 20 tahun yang lalu. Orang tuaku bersumpah bahwa hanya Pak Mario yang berhak membuka tabir masa laluku. Aku merasa selama 20 tahun aku telah dibohongi oleh orang yang kusayangi melebihi kehidupanku.
”Dulu, ada seorang pria paruh baya yang cacat menggendong seorang bayi datang menghampiri kami dengan penuh pengharapan lelaki itu ingin menyerahkan bayinya kepada ayahmu yang sekarang, lelaki itu berkata bahwa dia tak mungkin dapat memberimu masa depan yang lebih baik. Sebab jangankan memberimu masa depan, untuk sekedar memberimu makan saja dia tak mampu.”
”Tetapi mengapa baru sekarang hal ini diceritakan padaku! Mengapa... mengapa...!”
”Sebab ayahmu tak ingin mencipta luka lebih dalam lewat sayatan bibirnya. Ayahmu tak sanggup mengungkap kejujuran... karena baginya, dirimu adalah anak terbaiknya.”
***
Hidup tengah mempermainkanku, aku benar-benar larut dalam kegalauan. Aku diselimuti badai gelisah, sejujurnya aku membenci keadaan ini, teramat sangat membencinya. Namun aku tak mungkin membenci Tuhan, aku sadar apa yang terbaik menurut Tuhan tetaplah yang terbaik bagiku, sebab Dia lebih mengetahui aku melebihi siapapun di dunia ini. Begitupun aku tetap saja tak sanggup menahan riak-riak air mata yang bermuara dalam lautan tangisku.
”Tuhan, jika kehendak-Mu mungkin tak sesuai keinginanku, namun aku ingin Engkau dapat membaca keinginanku, jika memang aku bukanlah anak ayahku yang telah memeliharaku selama ini, maka kuingin menemukan jejak terakhir ayah kandungku. Kumohon Tuhan, kumohon kabulkanlah keinginanku.”
Entahlah, begitu doa itu terluncur dari belahan bibirku, tiba-tiba terlintas dalam pikirku, aku teringat orang tua cacat yang telah menolongku kemarin. Perasaan ini begitu kuat menghunusku, menusuk-nusuk relung hatiku. Apakah ini sebuah penanda? Entahlah, namun aku harus menemui lelaki itu. Seketika kutarik lengan Pak Mario dengan tergesa.
”Ada apa? Akan ke mana kita?” Suara pak Mario menggurat keheranan.
”Menemu jejak terakhir. Ya, kita akan menemu jejak terakhir ayah kandungku!”
***
Perpisahan itu tirai Tuhan...
Ada rahasia yang harus disimak
Ada air mata yang harus disibak
Ada luka yang harus dipijak
Sebab jika tak ada air mata
Tak ada luka
Maka rahasia akan tetap menjadi rahasia
Tanpa menemu cinta....
Aku temukan ayah kandungku! Ya, aku menemukannya. Firasatku benar, lelaki tua yang menolongku kemarin adalah ayah kandungku. Lelaki yang memberiku kedamaian lewat tatapan matanya. Lelaki yang begitu tulus mencurahkan pengabdiannya. Namun, aku hanya menemui jasadnya. Jasad yang terbujur di antara tumpukan karton bekas. Ya Tuhan... ayah kandungku memang benar-benar lelaki ini, lelaki yang kini telah mengatupkan kedua bola matanya untuk selamanya. Pak Mario yakin betul lelaki tua ini adalah ayahku, dan bukti terbesar adalah foto yang ada dalam genggaman tanggannya, foto seorang bocah dengan tanda lahir tahi lalat di bawah bibir. Dan, tanda itu ada padaku. Jadi, selama ini lelaki ini sadar aku adalah anaknya... karenanya dia merawatku dengan cinta, merawatku dengan indahnya singkong rebus yang tiba-tiba saja aromanya mengepul dalam dadaku, seiring tangisku yang terus jatuh.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
mantap x cerpenya...
BalasHapusterus berkarya