Minggu, 15 Agustus 2010

puisi Budianto Aceh Singkil

SYAIR YANG MENGATASNAMAKAN
Karya : Budianto


Telah ku tulis sepotong syair
Kedalam buku diariku
Mengisahkan asmara mimpi
Bercumbu dengan kata-kata mesra

Cahaya lampu tampak menyumbang
Inspirasi yang mematri, mengiringku
Melintas dibalik senyum-senyum syahdu
Membawa gelitik dalam kerinduan

Bait pertama lirik kedua
Kutulis nama kasihku
Sebab cintaku mengisyaratkan
Tangan ini untuk menulis namanya
Kutulis juga kenangan manis
Saat kami bertatap pandang
Kala mau jadian di bawah pohon pepaya

Dengan setangkai mawar yang ku petik
Dari halaman rumahku
Warna merah yang masih mekar
Kurangkai dengan pas bunga
Terbuat dari tempat minyak rambutku

Oh,,
Sungguh kenangan yang indah
Saat ia mengatakan hal yang sama
Ku pegang kedua tangannya
Dan kucium dengan penuh kelembutan

Sepotong syair telah usai kutulis
ku robek sepotong kertas itu
Lalu kupajang di atas cermin
Tempat ku berias pandang

Setiap aku berkaca
Syair itu selalu memberi
Penyemangat
Keindahan
Dan semyuman

Aceh Singkil, Agustus 2010

Kamis, 12 Agustus 2010

IMON

Karya : Budianto

Alam menjadi teman sejati. Mimpinya tak seorangpun yang tahu apakah dia menikmati kehidupan dengan kesenangan atau dengan penderitaan batin yang menyayat pada kemenangan. Rerintik hujan telah mengguyur sejak dua hari yang lalu, membuat kesunyian yang amat dalam pada kehidupan bang imon. Sesungguhnya penghujatan yang mulia telah di berikan pada kehidupan sekeliling, saban hari hanya menjadi bahan ejekan warga kalau melintas di tengah-tengah keramaian kampong. Menggerutu sambil berlalu seakan tak menganggap ada kejadian walau orang menceritainya dan menganggapnya orang gila. Hanya alamlah teman yang setia membingkaikan kebahagiaan dalam hatinya. Seperti pohon yang kehilangan daunya, tak menyisakan tunas-tunas penyangga yang bisa di jadikan sanggahan. Dia juga tak pernah memikirkan kesalahan, karna baginya ini sudah aturan yang harus dijalankan.
Matahari tampaknya cerah siang ini, segera mungkin bang imon menuju kandang sapi, milik saudaranya. Walau hidup sudah termakan usia, tapi dia tak tega kalau harus melihat ternak yang menjerit-jerit karna kelaparan, dia bisa membayangkan bagaimana rasanya kalau dua hari tidak makan. Ternak-ternak tersebut ia giring ketempat biasa, daerah persawahan yang banyak rumput kolomento dan paitan. Sambil menunggu sampai sore biasanya waktu dia habiskan bercengkrama dengan alam dan isinya. Sesekali menyanyi sambil memainkan kayu kecil sebagai alat penggusah ternak. Dibawah pohon kelapa sawit, menikmati gemericik air parit yang berirama. Kadang dia tak betah, karna serangan nyamuk-nyamuk yang berupacara di sekeliling badannya.
Aku nyaris tak bisa membayangkan bagimana kesedihan yang dia alami, kedua orang tuanya telah tiada, dia juga tak pernah mengenal cinta terlebih-lebih cinta sama seorang isteri dan anak. Dia tak pernah menikah atau berpacaran. Hampir empat puluh satu tahun dia hidup seperti ini. Hanya begitu, bersahabat dengan alam saja baginya sudah cukup.
Rumahnya yang reot menjadi singgahsana dalam peristirahatanya. Semua dilakukannya dengan sendiri. Apakah dia tidak takut dengan kegelapan, apakah dia tidak takut dengan makhluk ghaib, apakah dia tidak takut dengan yang namanya kematian, hanya dia dan Tuhanlah yang tahu.
Dia harus berbelanja makanan seminggu sekali di sebuah kedai yang terletak cukup jauh dari rumahnya. Biasanya kalau belanja pas malam senin, habis sholat isya dia baru menukarkan uangnya dengan sembako secukupnya. Di bawanya pulang kerumah. Kegelapan tak menjadi penghalang, karna dia nampaknya telah hafal dengan jalan yang selalu di lintasinya kalau pergi ke masjid. Dari rumahku saja berjarak sekitar dua puluh meter kegelapan benar-benar menimbulkan kuduk merinding. Dia harus menempuhnya sepuluh kali lipat lagi dengan berjalan kaki agar sampai di rumahnya, mending kalau di rumahnya ada kawannya atau ada rumah-rumah warga di sekitar, sepertinya tidak, karna rumahku termasuk ujung setelah ada dua rumah yang berjarak tak terlalu jauh.
Kegelisahan sepi melanda diri bang imon, baginya malam adalah sesuatu yang tak bisa dia elakkan untuk merenungkan kenyataan, dengan hanya ditemani cahaya lilin yang dia lindungi dengan kedua telapak tangannya agar tak lelap ditiup angin atau tetesan air hujan. Suara jangkrik turut menyumbangkan nyanyian dalam kesendiriannya. Biasanya kalau lilin-lilin itu sudah mati, barulah bang imon merebahkan diri di atas papan yang berkaki dan menempel di dinding yang sudah keropos dimakan rayap. Walau begitu bang imon tak pernah melewatkan shalat shubuh di masjid. Suara azan yang syahdu, membuatnya tidak pernah manja pada tidurnya. Langsung bergegas menuju masjid, walau disana tak banyak orang yang menunaikan kewajiban, paling hanya bilal yang merangkap imam dan dia makmum satu-satunya. Kasihan sangat kalau melihat bang imon melewati rintangan hidup seperti ini. Tapi tak juga bisa mencari siapa yang bersalah, paling kalau kita yang harus pedulikan kenapa kita tidak pernah memperdulikan orang-orang yang tidak di pedulikan seperti bang imon.
Embun menawarkan curhatan pada bang imon, yang sedang lihai menikmati udara pagi saat pulang dari masjid. Badannya menggigil kedinginan, udara pagi nampaknya hampir tak mampu ia taklukan, maklum saja dia hanya memakai sarung dan baju kaos, itupun kaos partai yang dia dapatkan dari tim sukses pasangan calon presiden satu tahun yang lalu. Sampai dirumah bang imon harus mengganti kostum. Celana pendek dan baju yang sudah compang-camping dia kenakan, dia harus mengasah parang bengkoknya terlebih dahulu sebelum mengarit rumput untuk makanan sapi yang baru beranak. Sambil berangkat dia melintasi kandang sapi. Dilihatnya ternak-ternak masih tertidur pulas, dia memperbaiki diang (api penghangat sapi) yang ditumpuki kayu-kayu dan serabut kelapa. Setelah beres barulah dia mencari tempat di persawahan yang banyak rumput kolomento dan paitan. Apakah dia tidak takut dengan gigitan pacat/lintah, apakah dia tidak takut dengan gigitan ular, apakah dia tidak takut dengan yang namanya kematian, hanya dia dan Tuhanlah yang tahu.
Dipinggiran sungai dia membabat rumput-rumput sedikit demi sediki, dimasukan kedalam goni. Kalau sudah dirasanya cukup barulah dia pulang dengan membawa rumput aritannya. Sapi-sapinya nampaknya tidak mengenal yang namanya nanti-nanti dulu, karna ketika melihat bang imon menyunggi (menggotong di atas kepala) rumput yang di babatnya, sapi-sapi itu langsung bangkit dari tidurnya. Dia harus membagi rumput itu kepada enam sapinya, tapi yang paling di utamakannya adalah sapi yang baru beranak, karna sapi tersebut belum bisa dilepas siang nanti, seminggu sampai dua minggu baru bisa di lepas bersama sapi yang lain.
Orang biasanya memanggil bang imon dengan sebutan bang toyib, entah kenapa nama itu ditunjukan kepadanya, atau karena dia hobi joget ketika ada hiburan keyboard kalau ada warga yang pesta di kampong itu, biasanya memang bang imon tidak pernah absen, bahkan datang duluan di pentas, berdiri menunggu biduanya nyanyi, semua lagu masuk sama dia, walaupun goyangannya hanya menggeal-geolkan pinggang dan sesekali menaikan tangannya ke atas. Dia menikmati aksi panggungnya sendiri tanpa memperdulikan orang lain, paling kalau sudah larut malam baru dia turun dari pentas dan pulang kerumahnya. Lagi-lagi kegelisahan sepi melanda diri bang imon, baginya malam adalah sesuatu yang tak bisa dia elakkan untuk merenungkan kenyataan, dengan hanya ditemani cahaya lilin yang dia lindungi dengan kedua telapak tangannya agar tak lelap ditiup angin atau tetesan air hujan. Suara jangkrik turut menyumbangkan nyanyian dalam kesendiriannya. Biasanya kalau lilin-lilin itu sudah mati, barulah bang imon merebahkan diri di atas papan yang berkaki dan menempel di dinding yang sudah keropos dimakan rayap.
Alam mengajarinya kehidupan, alam juga yang membuatnya selalu bersyukur dengan kenyataan. Baginya tidak ada orang yang lebih mulia di dunia ini kecuali orang-orang selalu mensyukuri karunia Tuhan. Dari segi keadaan dan sifat memang bang imon tergolong orang yang sedikit kekurangan, tapi dibalik semua itu ada karunia Tuhan yang diberikan pada dirinya. Bersyukur, taat beribadah, dan tidak pernah menyakiti hati orang lain. Hal seperti ini sering sekali terlupakan sama orang-orang. Tapi inilah kehidupan, yang semuanya berhak memilih jalannya masing-masing, munkin hanya waktu yang mampu meberikan jawaban atas tingkah laku masing-masing. Hidupnya semakin merenta, kini bang imon nampaknya sudah tidak kuat kalau harus memaksakan tenaga, waktunya kini dia gunakan hanya untuk mendekatkan diri sama sang Pencipta, di rumahnya yang reot dia memanjatkan doa yang paling mulia. Semoga kelak jika dia meninggal ada warga yang meperdulikannya, dan keinginannya yang paling dia nantikan ialah Tuhan bisa menjumpakan dia dengan kedua orang tuannya yang sama sekali tidak pernah dia ketahui selama hidupnya, karna ayahnya yang meninggal saat ia masih dalam kandungan dan ibunya juga meninggal sesaat setelah melahirkannya.



Ranah Kompak, Aceh Singkil 2010

puisi tentang ibu

MERAMU MIMPI IBU

Karya : Budianto

Selalu, Hampir setiap malam
Saat purnama menyongsong sepi
Suara itu kembali membingkai
Dibalik bilik rumah kami

Derainya menuntun rindu
Alunan nada terdengar memadu
Seperti malam-malam yang lalu
Merasuk kedalam sukma menabur
Air mata

Sesaat akupun bangkit dari rebahku
Dengan seksama meraup melodi itu
Meratap dalam kesendirian
Saat lantunan ayat-ayat
Meulai menggiringku ke tempat
Yang paling sudud diantara
Keramaian pikiranku

Ibu mulai berdoa
Mengarap iba dari ilahi
Sepasang matanya memejam mimpi
Memangku cita tuk naik haji

Mimpimu telah kurekam ibu
Kini doamu tak lagi sendiri
Karna akan ada doa-doa baru
Yang mengantarkan dan menemu
Cita-citamu ibu

Ibu..
Yakinlah pada-Nya
Sebab keyakinan itu yang akan
Menjadi jembatan dalam mimpimu.

Selasa, 10 Agustus 2010

PUISI TENTANG KOTA

KOTAK-KATIK KOTA
Karya : Budianto

Terlihat kota yang bukan kotaku
telah dikotak-katik oleh banyak
otak-otak yang barang kali tak berotak
mencoba mengkotak-katikkan kotamu bukan kotaku

ya.barang kali juga dia yang merasa berotak
telah tahu atau hanya ingin membodoh-bodohi
orang yang malas memakai otaknya untuk membangun kota itu

kota yang hanya terbungkus dalam suatu kotak
tak berkotak menjadi lahan untuk melakukan
perbuatan yang tak berotak

Tak...tak...tak...tak...tak...tak....
kukatakan tak sebab aku tak terima
melihat kota ini di permainkan oleh orang-orang
yang mungkin derajatnya tak lebih mulia daripada
katak.
karena perbuatannya telah banyak menyengsarakan rakyat
sampai-sampai mematikan kehidupan rakyat

kota itu kini tak layak menjadi kota
semua telah terampas oleh kerakusan
oknum-oknum yang membelantara di pembelantaraan
kotamu sendiri.

Puisi Kontemporer Budianto

Ulang Tahun

Kijang – Jangki
Jeritan – Natirej
Kamar – Ramka
Malas – Salam


Ada….Apa….Apa….Ada
Pada…Papa
Papa…Ada
Apa….Pa
Pa……ada
Pa……….
Papa…….
Papa…….
Adapaadapaapa
Pa……………………………

Jeritan Natirej
Pada papa
Papa ada kijang
Sejangki
Papa beli



Merapikan

To.!
Totototo to…to….to!!


Memancing

Le…..lelelelelale
Lelelele
Le.!


Sajak Seorang Bayi

Ncah
Khe,,,khe…
Ppappa
Mmamma
Mmmam
Ai……
He…..he….
Nkah….nkah…nkah…
Mmah,,,nkah….


Laki Luka

Lika-liku laki-laki luka-luka
Laku-laku
Laki luka
laku


TAK
Karya : Budianto

Tak..... kataku dan mereka.

RK, Asing 2011

Senin, 09 Agustus 2010

puisi Pendidikan

Kiprah Seorang Guru
Karya : Budianto

Seribu hari telah di jalani
walau hanya sebagai guru bantu
tak pernah mengukur gaji
karna ini panggilan hati
mendidik anak negeri
agar tak hanyut dalam
kebutaan

Ranah Kompak, Mei 2010

Guruku...Akulah Muridmu
Karya : Budianto

Guruku..
terimakasih atas didikasimu
mengajarkanku membaca
ilmu bangsa dan dunia
yang ku rekam dalam memori otakku
untuk ku putar saat dewasa nanti
agar negeri sedikit terobati

Ranah kompak, Mei 2010

Makna Hardiknas
Karya : Budianto

Bukan hanya kita peringati
dengan rapinya di setiap sekolah
dinas dan pemerintahan
tapi yang terpenting
bagaimanakah kita
menata rapi isi dari
potret pendidikan negeri

Ranah Kompak, Mei 2010

puisi BUDIANTO

Isyarat Langit

Karya : Budianto

ketika cahaya tak mampu menapakkan ultranya
sekeping harap berlari dengan gelisah
mencari kedamaian dalam rayuan misteri
yang masih merongrong dalam getiran awan
kini, simbahkanlah semua dalam tumpuan
menatap bingkai zaman yang terus menua
agar tak ada lagi noda dalam nurani.



Sabda Bumi

Karya : Budianto

sesaat setelah kuberikan kau peringatan
aku melihatmu termenung dalam kesadaran
namun saat aku mencoba diam
kau kembali melanjutkan kesalahan


Rembulan Malam

Karya : Budianto

dalam kesunyian, bertemankan dengan cahaya rembulan malam
aku bercerita tentang kenangan dan gundah yang menyelimuti hati
dan aku bertanya, adakah jiwa sunyi malam ini yang melebihi jiwaku
rembulan terdiam.


Embun Pagi

Karya : Budianto

air sunyi menetes dalam mahkotanya ilalang
memberi bisikan pesan pada ketenangan pagi
kemurniannya masih setia meneteskan mimpi
pada gulma yang tertidur pulas.


Sajak Rindu Buat Mama
Karya : Budianto

Biarlah angin membawa kerinduanku
untukmu, mama
dalam tidurku yang memanjakan mimpi
dalam rinduku yang membingkai sedih
kini terangkum dalam dinding tangisku,
mama


Arloji Kehidupan
Karya : Budiantu

Kemarin telah kau campakkan waktumu
dalam permainan yang tak kau mainkan
kini kau sujudkan pujamu,
agar bisa kembali seperti dulu
tapi arloji tak akan memutarkan haluannya

Minggu, 27 Juni 2010

puisi budianto Tema "danau toba"

Toba Saat Senja

Mentari yang diiringi senja
Menuju balik bukit tua
Cahayanya menerang
Berkaca pada air yang tenang
Di sini aku berdiri
Di samping parkiran rakit kecil
Milik opung tak kukenal
Sepasang burung rangkok
Menari di atas luasnya danau toba
Memanggil teman ajak berdansa
Di bawah kapal telah tiba
Dari sana
Ujung Samosir
Perjalanan sudah usai
Enceng gondok
tetap saja melambai
menafkahi senyuman
untuk dikenang

Ranah Kompak
23 November 2009

Tentangmu Toba

jangan lagi menangis
sebab dirimu banyak dipuji
mereka yang datang dari
dalam dan luar negeri
hadir bukan menjadi saksi
ceritamu
kau bentangkan luas
hiasan biru
mengitari bukit barisan
yang memadu
menjamah pengunjung
setia akanmu
ayah dan ibu sudah tiada
lagi menjaga
hidupmu tinggal sebatang kara
tak kenal lelah
memberi selaksa asa
pada mata yang belum
sirna

Ranah Kompak
23 November 2009


Toba di Sumatera

luas
dikelilingi bukit
lawas
membentang di tepi
pulau Samosir
mengenalkan jagad
sumatera utara tercinta
memberi aneka
warna keindahan
mencapai puncak
kebahagiaan
meski terukir
cerita dalam legenda
abad yang silam
meninggalkan jejak
tak terkoyak
kami kirim undangan
lewat angin yang
sepoi
dan perairan yang
amboi

Ranah Kompak
23 November 2009

CERPEN BUDIANTO

Syair Pujangga Desa

Karya : Budianto

Merasakan indahnya duduk di bangku kuliah dan mendapatkan gelar mahasiswa menjadi bertambahnya tumpukan motivasi bagi Rudi. Pria kelahiran 1987 ini menghabiskan masa kecilnya hingga menuai dewasa tinggal bersama ibu dari ibu kandungnya. Tinggal disebuah perkampungan kecil yang berpenduduk tak lebih dari seratus kepala keluargga. Bermain, bercanda sudah menjadi bahan dalam pergaulannya. Namun dia juga tak jarang menyempatkan waktunya untuk serius memikirkan kehidupan dan cita-citanya. Menulis adalah bagian dari hidupnya. Untaian kata mutiara, puisi-puisi karyanya menjadi senjata teman-temannya dalam mengagumi pria yang satu ini. Tak jarang teman-teman sepergaulan dia merindukan karya-karya yang baru, hasil dari rakitan kata demi kata yang dia rangkai.

Dani misalnya, Teman akrab sekaligus tetangga lima samping di sebelah rumah Rudi, sering meminta bantuan untuk di buatkannya sebuah puisi cinta. Demi mendapatkan Dewi, Dani yang kesehariannya bekerja sebagai kuli bangunan itu merayu wanita idamannya dengan puisi-puisi karya Rudianto, Dewipun langsung klepek-klepek di buainya.

***

Mempunyai motivasi dan semangat yang tinggi untuk menimba ilmu sudah menjadi pengharapan yang harus didiskusikan kepada kedua orang tuannya. Tepatnya seminggu setelah lulus SMA Negeri, Ia langsung menyematkan waktunya untuk pergi kerumah orang tuannya yang tak jauh dari tempat tinggal dia sekarang bersama neneknya. Sore itu saat senja sedang tersenyum rapi, serapi dandanannya, Rudi yang mengenakan baju kemeja putih dan celana keper berwarna hinjau lumut datang menjumpai ayah dan ibu kandungnya. Bak pepatah “ Pucuk di Cinta Ulampun Tiba “, saat sampai di depan pagar halaman rumahnya Rudi melihat kedua orang tuanya sedang duduk nyantai sambil menikamati secangkir kopi dan gorengan ketela yang di keroyok bersama-sama dengan adik dan cucu kesayanngannya.

“Assalamualaikum..”.
Kataku sambil tersenyum kepada semuanya, seakan membuyarkan suasana, tapi tak apalah pikirku sembari melanjutkan senyum.
“Waalaikum salam” Jawab Ayah dan adik.
Hal yang sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga kami kalau datang atau berkunjung kerumah harus memberi salam kepada yang lebih tua. Setelah kusalam tangan ayah akupun langsung pergi ke dapur menjumpai ibu yang sedang asik menyiapakan makan malam untuk nanti malam.

***

Malam ini sepertinya aku harus tidur di rumah ayah, agar keinginanku untuk menyampaikan suatu maksud bisa tercapai, saat Magrib tiba biasanya ayah langsung pergi ke masjid untuk menjalankan kewajian, dan ayah pasti pulangnya setelah sholat Isya. Setelah menunggu sekian jam akhirnya semua unek-unek kusampaikan sama orang tuaku. Jam sudah menunjukan pukul 20.53 WIB, kulihat adik-adik sudah mulai nggelosor ke kamarnya masing-masing. Tinggallah ayah, ibu dan aku yang belum tidur. Sambil menikmati cahaya bulan dan suasana yang agak sunyi, aku mengatakan sesuatu sama kedua orang tuaku.

“Pak, Buk” Kataku lirih rada-rada ketakutan
“Rudi mau ngelanjutin kuliah pak”
“Rudi kepingin jadi seorang mahasiswa”.
Sesaat setelah ku curahkan kata itu ayah tersenyum, tapi lain halnya dengan ibu yang bersikap biasa, Mungkin karna faktor kecapean ibu yang lelah bekerja tadi pagi sampai siang. Tapi ibu pasti mendengar kok. Biasanya ibu hanya memanjakan pinggangnya dengan bergolek-golek di kursi busa yang terletak di teras rumah.
”Memangnya kamu mau kuliah dimana Rud”
“Disinikan tidak ada kampus”
“Paling ada ya di kota sana, itupun biayanya mahal”
Tutur ayah menanggapi pertannyaanku tadi.

Mendengar peryataan ayah tadi, jantungkun langsung berdegub. Melihat cahaya rembulanpun rasanya tak kuasa lagi. Pandanganku mulai sedikit terarah pada bola lampu pijar yang sedang dikerubuti laron-laron, maksudku hanya untuk mencari selimuran hati agar rasa takutku untuk mengungkapkan berbagai pengharapan pada ayah bisa kusampaikan. Kulihat ayah meneguk kopinya yang sudah tinggal setengah gelas, di oleskannya endapan kopi tadi pada sebuah rokok, kemudian menyulam dan menghisapnya dengan sabar. Sesekali aku dan ayah nggobrol masalah agama, ayah mengajarkanku ilmu tentang ketakwaan kepada Allah SWT. Bagiku ilmu agama lebih penting dari ilmu-ilmu yang lain, makanya saat ayah menjenjelaskan akan hal itu rasanya aku tak ingin sedikitpun bermaksud untuk memotongnya. Ketika malam mulai senyap barulah ayah menanggapi semua apa yang hendak ku sampaikan, ternyata ayah sudah mengetahui apa sebenarnya yang ingin aku sampaikan.
Ayah bukannya tidak mau menanggapinya dari tadi, hanya saja ayah tak ingin hal ini terdengar sama adik-adik, karna mereka juga butuh perhatian pendidikan juga sama seperti halnya aku, hanya saja mereka baru lulus SLTP.
***
Saat malam mulai bermuara pada pertengahannya, barulah ayah meberiku beberapa petuah hidup, bukan hanya tentang keinginanku untuk masuk kuliah, tapi ayah juga memberiku bekal semangat yang tiada tara, kata-kata yang tak kusangka sebelumnya ternyata muncul dari hati ayah yang paling dalam.
“Kuliahlah nak”
“Jangan pikirkan biayanya,”
“tapi tanamkanlah bahwa kamu harus bisa berhasil untuk memperbaiki Negeri”.
kata yang mengajarkanku kejalan tatapan masa depan, kata yang memberiku tanggung jawab dalam hidup, karena dibalik kata ayah yang singkat terdapat berjuta motivasi, semangat dan tanggung jawab yang harus ku embaan dari sekarang.
Kini rasanya berjuta melodi indah menyanyikan nada-nada sanjung dalam hati. Hatiku sangat riang ketika ayah menyuruhku untuk kuliah. Setelah itu, sejenak ku pandangi bulan yang juga ikut tersenyum merayakan dengan benda langit lainnya atas keberanianku dan keberhasilanku menyampaikan keinginan yang satu tahun lebih mengembara dalam benak hati. Ayah mulai masuk rumah, sambil membawa gelas yang berisikan endapan kopinya tadi. Ibu sudah satu jam yang lewat memasuki rumah. Sedangkan aku masih menikmati suasana malam yang penuh warna ini, sambil bercerita dengan cahaya rembulan sampai aku terhanyut dalam lamunan menduduki bangku perkuliahan. Selang lebih kurang lima menit kemudian, barulah aku memasuki rumah dan tidur di kamar depan.

***

Dua hari setelah malam itu aku langsung berkemas mempersiapkan bekal untuk kuliah nanti, maklum saja ini pertama kalinya merantau istilahnya, pergi meninggalkan kampung halaman sedih rasanya, apa lagi harus pisah sama keluarga, terlebih-lebih sama nenek yang telah membesarkanku sejak aku berusia empat tahun. Tapi ini harus kulakukan demi masa depan dan petuah ayah kemaren. Pakaian dan peralatan persyaratan pendaftaran kuliah telah aku persiapkan dalam tas ranselku. Malam ini aku berangkat ke kota Medan jarak tempuhnya mencapai kurang lebih sebelas jam kata abangku yang sering pergi pulang ke daerah itu dengan mobil kerjaanya.

***

Kunikmati perjalanan ke kota Medan dengan menaiki mobil Himpak bernomor 109, mobil ini salahsatunya yang bertrayek Aceh Singkil – Medan. Setibanya di kota kulihat keramaian kota dengan banyaknya mobil dan kereta yang berlalu lalang di jalanan. Dengan berbekal denah lokasi kampus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara yang terletak di jalan Kapten Mukhtar Basri aku bertanya kepada beberapa orang disekitar, akhirnya kunaiki becak bermotor dari daerah Jalan Bintang menuju kampus yang kutuju. Dikampus ini kudaftarkan diri dengan mengisi beberapa persyaratan masuk kuliah. Sampai akhirnya beberapa minggu kemudian ternyata aku diterima dan lulus dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru tahun ini. Mengikuti semua peraturan dikampus dan mulai bergabung dengan kawan-kawan dari berbagai daerah, pada semester empat aku mulai belajar dan ikut-ikutan kegiatan organisasi kampus, kala itu masih menjadi anggota di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), selang satu tahun baru menjabat sebagai Ketua Bidang dalam organisasi tersebut, dan pada saat sudah semester enam kawan-kawan mempercayaiku untuk menjadi Ketua Umum HMJ, selain itu organisasi-organisasi luar juga ku ikuti diantaranya menjabat sebagai ketua umum HMJ BSI Sumatera Utara, mendirikan organisasi Komunitas Penulis Anak Kampus dengan teman-teman dari Universitas lain, serta masih banyak juga jabatan yang lain di organisasi yang berbeda. Pada jenjang semester tujuh kawan-kawan mempercayakan jabatan ketua umum Badan Eksekutif Mahasiswa FKIP UMSU priode 2008/2009 . Banyak pengalaman, banyak ilmu, banyak tanggung jawab yang tak bisa terlupakan selama berorganisasi.

***

Masa kuliah memang mengasyikan, berbagai rintangan dan perjuangan seperti pada saat proses penyusunan proposal sampai ke skripsi kujadikan pengalaman yang cihui, melewati banyak rintangan, menunggu mukjijatnya acc dari dosen pembimbing, proses pengambilan data di sekolah, sekali-kali ku garuk-garukkan kepala dan terkadang ada juga jingkrak-jingkrak ketika data yang telah tersusun sepaham dengan keinginan dosen pembimbing. Lain hal nya saat sedang di kos-kosan, dengan teman-teman membingkai nasip sepenanggungan, buat pesta kecil-kecilan saat kiriman datang, diskusi dengan perut yang menuntut haknya, kadang kantong kering sebelum waktunya, suasana bulan puasa mengimla catatan indah, dapat tagihan bulanan uang kos, dan masih banyak yang lain dan terus meniangkan kenangan, Aku sendiri nyaris seperti orang gila saat membayangkan kenangan itu. Tak jarang juga aku melanjutkan kebiasaan membuat puisi-puisi maupun cerita pendek, kebiasaan yang sudah kuterapkan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Hal ini kulakukan dengan mengikuti kegiatan-kegiatan menulis karya sastra di Taman Budaya Sumatera Utara serta di tempat-tempat yang lain. Kalau dulu kawan-kawan masa kecilku sering meminta beberapa puisi, tapi sekarang tidak, mereka sudah bisa mandiri membuat karya sendiri, bekal yang kuberikan sebagai motivasi bagi mereka sebelum aku pergi merantau ternyata di pahami dan di terapkan. Di kota ini aku sering mengapresiasikan bakat menulisku dengan mengirimkan karya-karya kedalam media massa, Alhamdulilah beberapa karyaku dimuat, dan hasilnya lumayan, karna setiap puisi yang terbit satu judulnya saja itu Rp.25.000, dan kuhitang sudah lebih dari 12 karyaku diterbitkan media Analisa Sumatera Utara.
***
Nah, itulah kawan perjalanan hidupku yang telah kutuangkan dalam buku ini. Sekarang masa akhir perkuliahanku hampir selesai, karna saat ini aku tinggal menunggu datangnya waktu untuk mengikuti sidang meja hijau. Sembari terus melanjutkan program kerja BEM FKIP UMSU yang tinggal hitungan bulan lagi. Aku masih terus ingin menatap masa depan dan menambah ilmu pengetahuan, sampai ku berhasil mewujutkan kata-kata ayah empat tahun yang lalu,
“Tanamkanlah Bahwa Kamu Harus Bisa Berhasil Untuk Memperbaiki Negeri”.

Rabu, 05 Mei 2010

budianto kemah menulis


budianto dan kawan-kawan sedang melaksanakan kegiata kemah menulis bersama keluarga besar komunitas penulis anak kampus, bertempat di daerah sayum sabah sumatera utara

Senin, 26 April 2010




ketika sepasang merpati
tak lagi memberikan terapi sejuk
kini seekor kelinci cantik
hanya dapat berkaca pada lensa buramnya

Minggu, 25 April 2010

Selasa, 06 April 2010

puisi budianto

Laskar Hitam di Balik Kerudung Putih


rupa wajah tak jadi alasan
terpandang sosok dari sudut jendela
bodi yang amboi
dengan lesung pipi menghiasi pagi
bergandengan dengan dua bule
berkekar raga
melintas di rumah berteras dua
menuju hotel berbintang lima
gadis indo turunan dua bangsa
memarakkan jagat raya
menghantui nafsu dunia
menghantam birahi agama

(ranah kompak 16 desember 2009)

Munuju Pintu Tobat

mimpikan sejuta kenangan buruk yang semakin membusuk
agar kita semakin menatap seroja insaf dalam kehidupan
pucuknya akan mekar jika batang selalu tegak
dan akar selalu disiram dengan mutiara tobat
tinggalkan maksiat yang menggangu dunia
memporandakan iman dan takwa
(ranah kompak desember 2009)

Meraih Impian

jalan masih panjang kawan
jangan lengah menatap asa
mimpikan kenangan kita
saat bersama membangun negeri
meraih prestasi penuh tantangan
demi tujuan yang telah pasti
jalan masih panjang kawan
lihatlah burung diatas sana
mereka berhamburan
bercengkrama dengan awan
yang masih memancarkan
sejuta kisah kasih
untuk kita,
mari kawan kita raih
impian
(ranah kompak Desember 2009)
Untumu Habibiku

setangkai bunga mawar
aku persebahkan bersama senyuman
saat dirimu sedang gundah
pandanglah mata ini
katakan kalau kamu tak lagi gundah
biarkan waktu terus berputar
karna itu memang sudah kodrat
peluklah tubuhku karna aku akan
selalu di sampingmu
(Ranak kompak 2009)

puisi malam tahun baru budianto

Malam Tahun Baru /I/

ketika malam mulai senyap
melangkah meninggalkan kenanggan tahun yang silam
suara ratap menyeruak dalam relung nurani
tercucur kesedihan dalam memampang dosa
(Ranah Kompak 2009)

Malam Tahun Baru/II/

gemerlap bunga api mengalahkan sang bintang
yang masih bertatap pada lembayung awan hitam
teriakan manusia kegirangan
tanpa menghirau lautan insaf
(Ranah Kompak 2009)

Malam Tahun Baru /III/

duduk termenung
pandangi rembulan
meratapi dosa
(Ranah Kompak 2009)

puisi sri rizki handayani

Matahari Tanah Airku
Sri Rizki H

Di sudut jalan
Wajah-wajah lusuh menatap
Sayu tak berdaya
Sementara tangan-tangan kuasa
Hanya bisa memanfaatkan kelemahan

Ribuan tangan keserakahan menjalar
mencari mangsa, melilit bumi,
meretas setiap asa
dengan sisa suara kami tetap memanggilmu
berharap kau hadir dan membelai kami
dengan sentuhan lembutmu

Kau tauladan kami
penerang jalan yang kelam
kau pemimpin
takkan pernah terganti


Ranah KOMPAK
17 Juni 2009

Senin, 05 April 2010

Kumpulan puisi Budianto

BUDIANTO

KEIKHLASANKU /I/


Hidup tak lagi berarti
Jika tak menatap
Disamping ada yang menanti

Aku kenyang dengan kesenangan
Mereka lapar dengan pemberian
Haknya terampas
Dari oknum-oknum
Bertopengkan jabatan

Aku harus bisa menjadi wali
Dari orang-orang yang mabuk
Kekayaan


KEIKHLASANKU /II/


Sadar
Kepunyaanku tak sebanding
Dari kepunyaan mereka
Tapi aku ikhlas
Memberikan sebagian
Yang kupunya


SEPIKU MALAM INI

Dalam heningnya malam
Kuberlayar mengarungi kesedihan
Menatap rembulan yang bersinar
Seakan redup tertutup awan

Sembilu hatiku
Saat ingin berlari
Menggapai kebahagiaan
Yang kucari

Malam ini aku hanya
Ingin menikmati
Sunyi ini dengan sendiri
Biarkan saja menjadi saksi


KASIH DI UJUNG SAMUDERA

Andai waktu tak lagi tergapai
biarkan sekucir kicauan rindu
bernyanyi dipangkuan
melayarkan dahaga kenangan
menyelimuti tubuh di tepi samudera
ingin ku berlabuh
bersaing dengan gulungan
ombak bergandengan
demi gadis pujaan
yang terus membayang


TAK SEBENING EMBUN PAGI

Biarlah angin yang bercerita
tentang asmara yang masih membara
walau masih ada kuntuman setia
simpanlah agar tak lagi hanyut
seperti hari kemarin


BINTANG MASIH TEMARAM

Jangan takut untuk mencoba
selagi bintang masih temarang
menjaga kita dan semuanya
yang masih terdiam
disudut kamar kota


RIWAYAT KEHAMPAAN

Telah ku ukir jejak-jejak langkah
yang memburu musafir cahaya
berlabuh di pengembaraan kehidupan
namun tak jua aku dapatkan


SAJAK UNTUKMU

Lewat hiasan rasa
mengingat bayangmu yang telah tiada
tak pernah kembali meski sekejap mata
melepas dahaga rindu
yang semakin menjelma
untaian kata mutiara kupersembahkan
mengiringi langkahmu
ke alam yang berbeda

CERPEN BUDIANTO

JEJAK TERAKHIR
Karya
Budianto

Semua tahu panggilan apa yang tepat untuk memanggil lelaki yang duduk mendepis di balik tumpukan sampah itu. Lelaki kumal, bermuka kusut, sekusut ilalang kering dengan baju compang camping, serta dengan aroma tubuh yang menyengat hidung. Ya, aroma tubuh lelaki itu benar-benar seperti aroma sampah yang telah membusuk. Tubuhnya banyak dikerubungi lalat, sebab terdapat beberapa luka yang telah menganga, serupa kawah. Ah, aku sesungguhnya nyaris tak sanggup menatapnya, jika saja tubuh renta itu tidak terhidang tepat di kelopak mataku.
Entahlah, sembari terus kuayunkan langkah, tak henti-hentinya pandanganku terjurus kepadanya. Miris, kutatap dia dengan lahap memakan sisa-sisa makanan basi dari rumah makan sekitar area itu. Terpikirku apakah masih sanggup kita katakan kalau negeri ini adalah negeri yang sejahtera? Jika wujud-wujud seperti ini masih banyak menghiasi sudut-sudut kota? Sejujurnya aku ingin merutuki penguasa yang tidak memahami arti menghidupi rakyat, aku ingin menghujat pejabat yang hanya mampu membagi-bagi kemiskinan, atau bahkan menabur kelaparan. Tetapi, aku hanyalah orang kecil. Aku bahkan tak sanggup menghidupi diri sendiri. Tapi, aku punya cita-cita untuk bisa menjadi orang besar yang bisa membantu mengangkat derajat orang-orang yang tersentuh oleh pandanganku tadi. Sembari melangkah kuberkhayal akan hal itu.
Kulihat jam di tanganku. Sudah menunjukan pukul 10.00 WIB, penanda aku harus segera mengantarkan kiriman orang tuaku ke panti asuhan yang telah diamanahkan kepadaku.Walaupun aku masih buta dengan kota ini, namun setidaknya aku akan berusaha untuk mencari alamat ini sampai kutemukan. Aku harus bertemu Pak Mario, pimpinan sekaligus pendiri panti asuhan itu sedari dua puluh tahun lalu.
* * *
”Di sana akan kau temukan, orang-orang yang kurang beruntung, mungkin bertakdir sebagai gembel, yatim piatu, atau bahkan anak-anak jalanan yang masa lalunya terpaksa melacurkan diri demi sesuap nasi.”
Terngiang kembali perkataan ayahku sebelum kujejakkan langkah demi amanah yang saat ini menghimpit di pundakku. Tiba-tiba saja, terlintas di pikiranku bahwa orang yang kulihat di samping tumpukan-tumpukan sampah tadi pasti banyak di sana. Di panti asuhan yang akan ku cari.
Teriknya matahari terasa menyengat sekujur tubuhku. Membuat keringat melumer ditubuhku. Sesekali kusapu keringat dari wajahku. Kurasakan dahaga yang maha dahsyat mencekik kerongkonganku. Terlihat kios kecil di seberang jalan, yang menyediakan minuman-minuman kecil, serta makanan-makanan ringan. Segera kuhampiri kios itu, kubeli sebotol air mineral untuk melepas dahagaku.
Setelah melepas dahaga yang mencekikku kulanjutkan perjalanan, di perempatan jalan, aku melihat kendaraan yang antri secara teratur. Menunggu rambu-rambu lampu lalu lintas berubah warna. Aku tersenyum, entah mengapa terlintas dalam benakku, bahwa hidup juga serupa rambu-rambu, kadang menoktahkan hijaunya semangat, namun juga tak jarang bercengkrama dengan kuningnya kehati-hatian, dan jika kita tak menginsyafinya maka yang ada kita akan terhenti pada lorong penantian.
Kuseberangi jalan. Melintas di celah-celah mobil yang sedang antri. Berbagi jalan dengan para pengamen serta penjual rokok yang sedang menawarkan dagangannya kepada para supir angkutan kota. Aku berdiri tepat di trotoar jalan. Karena aku harus menyebrangi satu lintasan lagi.
Kupalingkan pandanganku ke sebelah kiri. Terlihat seorang pengemis tua yang sedang menjulurkan tangannya ke arah mobil sedan mewah berwarna merah. Berharap ada uluran tangan dari dalam mobil tersebut. Tetapi, apa? Jangankan mengulurkan tangan, membuka kaca jendela pun tak sudi. Kulihat di saku bajuku, ternyata masih ada sisa kembalian uang saat aku membeli minuman tadi. Sisanya masih ada tiga ribu rupiah. Tanpa berpikir panjang kuserahkan semuanya dan kuletakan dalam mangkuk kecil yang berada di depannya, betapa bahagianya hati sang pengemis itu, sambil mengambil tongkat kayunya. Dengan langkah yang tertatih-tatih ternyata dia ingin bersalaman denganku sambil mengucapkan terima kasih. Tubuhku terasa merinding, ketika lelaki yang hanya mempunyai satu buah kaki dengan satu buah tongkat sebagai pengganti kakinya yang satu lagi, merasakan sepercik kebahagiaan dari apa yang telah kuberikan.
“Mudah-mudahan yang kuasa selalu melindungimu nak.”
Kata-kata itu semakin membuat tubuhku merinding. Rasanya mau menangis. Tetapi, kusyukuri nikmat ini dengan penuh kebahagiaan dalam hati. Betapa bahagianya aku ketika bisa berbagi dengan sesama jenisku. Mungkin kebahagiaanku setara dengan kebahagiaan pengemis itu. Aku menyeberangi jalan. Pada saat aku menyeberang ternyata mobil berwarna putih dengan kencangya menyambarku.
Sssssssttt…
Suara itu yang ku dengar sambil menghantam tubuh belakangku. Sejak itu dunia terasa gelap dan aku tak sadarkan diri. Pagi hari saat kubuka mata, kulihat ruangan kecil beralaskan tanah yang hanya terbentangkan tikar kecil. Tikar itulah yang menjadi alas tidurku, kulihat kakiku terbungkus oleh sepotong kain berwana kuning yang sudah ternoda oleh bercakan-bercakan darah di kaki kananku. Kepalaku juga di ikat dengan kain yang berwarna sama dengan kain yang menggulung kakiku.
Aku mulai mencoba bangkit, dengan sekuat tenaga sambil memegang erat tiang bambu yang kulihat sebagai penyangga rumah ini. Walaupun masih kurasakan betapa sakitnya luka di kepalaku, aku berjalan dengan pelan-pelan menuju ke luar rumah, karena aku belum pernah masuk ke rumah ini sebelumnya. Di depan pintu kulihat matahari sudah menyambutku, seolah-olah dia ingin mengucapkan selamat pagi kepadaku.
“Ukhuk.. ukhuk… ukhuuuuuuk.”
Kudengar suara seseorang batuk. Ya, tak salah lagi, kudengar suara itu berasal dari samping kiri rumah ini. Niat hati ingin melihat langsung suara siapa itu. Ternyata ketika masih berjalan dua langkah, seorang lelaki tua muncul dari samping rumah.
Ketika menatap wajahnya aku merasa heran dan begitu kaget.
Wajah itu, adalah wajah yang sangat ku kenal.
”Bapak? Bapak kan....”
Aku tercekat.
”Gimana keadaanmu nak?” Lelaki itu tak menghiraukan perubahan sikapku. Ia tersenyum. Begitu tulus, dan pada senyumnya kudapati garis lengkung kedamaian yang melintang dalam hatiku secara tiba-tiba.
”Alhamdullilah pak.”
Ia kembali tersenyum. Senyum yang membuatku damai, kedamaian yang berbalut getar indah...
***
Sambil duduk di atas tumpukan karton bekas dan bersandar pada dinding yang hanya terbuat dari anyaman bambu. Kudengarkan uraian kata-kata dari lelaki tua ini. Sejujurnya, tak henti-henti berbagai pertanyaan bergumul dalam dadaku dan begitu ingin kuluncurkan untuk mencari tahu bagaimana aku sampai bisa ke rumah ini. Namun, lelaki itu seperti membaca apa yang ada dalam pikiranku, dengan sabar ia menjelaskan panjang lebar tentang keadaanku. Bahwa aku mengalami kecelakaan, dan ia menolongku. Namun yang membuat aku merasa takjub adalah ternyata firasatku benar. Lelaki ini adalah pengemis cacat yang kuberi sedekah uang tiga ribu rupiah kemarin.
Aku benar-benar terharu, aku tak menduga dari sekian banyak orang yang menyaksikanku kecelakaan, justru lelaki tua inilah yang menolongku. Lelaki yang nyaris tak mampu lagi menyangga tulang-tulangnya karena dimakan usia. Entahlah, kudapati pancaran keikhlasan di matanya, tatapannya begitu teduh, dan seketika aku menangis. Kucium tangan lelaki ini.
Selama beberapa hari, lelaki tua ini, tak membiarkanku pergi dari rumahnya. Ia merawatku dengan sabar. Namun, yang paling membuatku terharu adalah saat dia bersusah payah mencari makan untuk sejengkal perutku, karena pada saat kecelakaan dompetku raib dicuri orang yang berpura-pura menolongku. Aku terharu saat lelaki tua ini, merebus singkong yang ia beli dari hasil mengemisnya. Aku terharu saat dia berkata jangan melihat apa yang dimakan, tetapi lihat ketulusan pemberiannya. Sungguh, di sini banyak pelajaran yang kuperoleh. Karena di sini aku berguru pada kesederhanaan hidup.
***

Keadaanku telah membaik. Besok aku harus bangun pagi-pagi karena aku harus melanjutkan perjalananku untuk manjumpai bapak Mario. Tak terasa nyaris seminggu aku terbaring di gubug ini. Telah menunda perjumpaanku dengan orang sesuai yang diamanahkan ayahku. Aku masih punya tangungan untuk mengantarkan amanah yang ada dipundakku.
Pagi ini setelah menempuh perjalanan delapan jam akhirnya ku temukan alamat yang ku cari. Namun, entah mengapa bukan kedamaian yang kudapatkan ketika mendapati alamat ini. Saat pertama kali kulihat panti asuhan ini, aku merasakan dadaku bergemuruh, sangat bergemuruh. Gelombang kegelisahan bergejolak dalam lautan jiwaku. Aku tak mampu membaca firasat apakah ini. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Pak Mario, dan beliau menjelaskan isi pesan tersebut. Aku terhenyak, batinku terkoyak. Aku merasa jiwaku mati. Ragaku tinggal jasad yang layak untuk dikebumikan. Ya, aku benar-benar terpukul, sangat teramat terpukul. Aku benar-benar tak pernah menyangka bahwa berita yang disampaikan Pak Mario adalah berita kejujuran tentang masa laluku. Ya, aku baru tahu ternyata aku bukanlah anak kandung dari orangtuaku sekarang. Kesepakatan antara orangtuaku dan Pak Mario sudah sejak 20 tahun yang lalu. Orang tuaku bersumpah bahwa hanya Pak Mario yang berhak membuka tabir masa laluku. Aku merasa selama 20 tahun aku telah dibohongi oleh orang yang kusayangi melebihi kehidupanku.
”Dulu, ada seorang pria paruh baya yang cacat menggendong seorang bayi datang menghampiri kami dengan penuh pengharapan lelaki itu ingin menyerahkan bayinya kepada ayahmu yang sekarang, lelaki itu berkata bahwa dia tak mungkin dapat memberimu masa depan yang lebih baik. Sebab jangankan memberimu masa depan, untuk sekedar memberimu makan saja dia tak mampu.”
”Tetapi mengapa baru sekarang hal ini diceritakan padaku! Mengapa... mengapa...!”
”Sebab ayahmu tak ingin mencipta luka lebih dalam lewat sayatan bibirnya. Ayahmu tak sanggup mengungkap kejujuran... karena baginya, dirimu adalah anak terbaiknya.”
***

Hidup tengah mempermainkanku, aku benar-benar larut dalam kegalauan. Aku diselimuti badai gelisah, sejujurnya aku membenci keadaan ini, teramat sangat membencinya. Namun aku tak mungkin membenci Tuhan, aku sadar apa yang terbaik menurut Tuhan tetaplah yang terbaik bagiku, sebab Dia lebih mengetahui aku melebihi siapapun di dunia ini. Begitupun aku tetap saja tak sanggup menahan riak-riak air mata yang bermuara dalam lautan tangisku.
”Tuhan, jika kehendak-Mu mungkin tak sesuai keinginanku, namun aku ingin Engkau dapat membaca keinginanku, jika memang aku bukanlah anak ayahku yang telah memeliharaku selama ini, maka kuingin menemukan jejak terakhir ayah kandungku. Kumohon Tuhan, kumohon kabulkanlah keinginanku.”
Entahlah, begitu doa itu terluncur dari belahan bibirku, tiba-tiba terlintas dalam pikirku, aku teringat orang tua cacat yang telah menolongku kemarin. Perasaan ini begitu kuat menghunusku, menusuk-nusuk relung hatiku. Apakah ini sebuah penanda? Entahlah, namun aku harus menemui lelaki itu. Seketika kutarik lengan Pak Mario dengan tergesa.
”Ada apa? Akan ke mana kita?” Suara pak Mario menggurat keheranan.
”Menemu jejak terakhir. Ya, kita akan menemu jejak terakhir ayah kandungku!”
***

Perpisahan itu tirai Tuhan...
Ada rahasia yang harus disimak
Ada air mata yang harus disibak
Ada luka yang harus dipijak
Sebab jika tak ada air mata
Tak ada luka
Maka rahasia akan tetap menjadi rahasia
Tanpa menemu cinta....
Aku temukan ayah kandungku! Ya, aku menemukannya. Firasatku benar, lelaki tua yang menolongku kemarin adalah ayah kandungku. Lelaki yang memberiku kedamaian lewat tatapan matanya. Lelaki yang begitu tulus mencurahkan pengabdiannya. Namun, aku hanya menemui jasadnya. Jasad yang terbujur di antara tumpukan karton bekas. Ya Tuhan... ayah kandungku memang benar-benar lelaki ini, lelaki yang kini telah mengatupkan kedua bola matanya untuk selamanya. Pak Mario yakin betul lelaki tua ini adalah ayahku, dan bukti terbesar adalah foto yang ada dalam genggaman tanggannya, foto seorang bocah dengan tanda lahir tahi lalat di bawah bibir. Dan, tanda itu ada padaku. Jadi, selama ini lelaki ini sadar aku adalah anaknya... karenanya dia merawatku dengan cinta, merawatku dengan indahnya singkong rebus yang tiba-tiba saja aromanya mengepul dalam dadaku, seiring tangisku yang terus jatuh.
Pengalaman Organisasi
1. Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia se-Sumatera Utara ( HMJ BSI SUMUT).
2. Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (BEM FKIP UMSU) periode 2008-2009.
3. Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU Periode 2007-2008
4. Ketua umum Gerakan Mahasiswa Pecinta Sastra Indonesia (GEMPASI) FKIP UMSU
5. Koordinator Humas Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) Periode 2009-2010.
6. Ketua Bidang Pendidikan DPD IMAKIPSI (Ikatan Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan Se-Indonesia) Sumatera Utara, periode 2008-2010.
7. Pengurus Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Tanah Rencong (IPTR)
8. Pengurus GEMPIAS (Gerakan Mahasiswa Islam Aceh Singkil)
9. Kader Aktif Partai Mahasiswa Bersatu (PMB) UMSU

biodata diri

Budianto
pria kelahiran Aceh Singkil 3 Maret 1987 tempatnya di desa pangi kecamatan simpang kanan. menimba ilmu di sd negeri sukarejo,MTsM rimo,SMA Simpang Kanan,Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Aktif dalam kegiatan organisasi dan seni sastra.
jabatan yang pernah di embaan dalam organisasinya adalah:
1. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa FKIP UMSU Periode 2008/2009
2. Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Se-Sumatera Utara
3. Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU
4. Ketua Bidang Pendidikan Ikatan Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan Se-Indonesia DPD SUMUT
5. Pendiri dan Pengurus Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK)
6. Pengurus Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Tanah Rencong (IPTR)
7. Pengurus Gerakan Mahasiswa Islam Aceh Singkil
8. Pengurus Himpunan Mahasiswa Pelajar Aceh Singkil (HIMPAS)
9. Pengurus Komunitas Home Poetri Sumatera Utara
10. Pengurus Partai Mahasiswa Bersatu (Salah satu Partai Kampus UMSU yang Memenangkan pemilu raya di UMSU)

kegiatan seni sastra yang pernah di ikuti:
1. menjadi peserta baca puisi 48 jam nonstop di depan Stasiun Kereta Api Medan (dalam rangka menyambut hari ulang tahun kota medan)
2. menjadi pemain pementasan teater "CINTA TANAH AIR" yang diadakan oleh dinas kebudayaan dan pariwisata sumatra utara.pementasan di laksanakan di dua kota yakni kota Perbaungan (Serdang bedagai) dan Stabat (Langkat).
3. Tamu Undangan Baca Puisi Kegiata Komunitas Puisi Mahasiswa Universitas Negeri Medan
4. Tamu Undangan Baca Puisi Kegiatan Mahasiswa UMSU
5. Peserta Lomba Baca Puisi Perjuangan di Lapangan Benteng Medan
6. Kemah Menulis di desa Sayum sabah sumatera utara